Dhanielogy Be positive and keep writing

Selasa Pekan Biasa XVI

By Dhaniel Whisnu

Selasa Pekan Biasa XVI Tahun II

Selasa, 19 Juli 2016

Mi 7:14-15,18-20; Mzm 84:2-4,5-6,7-8; Mat 12:46-50

HOMILI

Saudara-saudari terkasih. Saya percaya bahwa Bacaan Injil hari ini pasti sudah sering kita dengar dan kita renungkan. Ya, sepintas memang Yesus dalam Injil tadi tampak seolah menolak dan mengabaikan ibu dan saudara-saudara-Nya. Itulah sebabnya, sebagian saudara kita dari denominasi/gereja yang berbeda atau bahkan mereka yang berbeda iman dengan kita, seringkali memakai perikop tadi untuk menentang penghormatan kita terhadap Bunda Maria. Mereka seringkali terdengar berkata, “Kenapa kalian orang Katolik ini begitu menghormati Maria? Padahal Tuhan Yesus dalam teks tadi jelas-jelas mengabaikan dan menentang Maria, meskipun dia adalah ibu-Nya sendiri.” Sepintas kata-kata mereka memang seperti mengandung kebenaran. Namun kalau kita refleksikan lebih jauh, pendapat saudara-saudari kita tadi sebenarnya lebih banyak salahnya ketimbang benarnya. Dalam hal ini, ada beberapa alasan yang bisa menjadi dasar penilaian kita.

Pertama, Yesus di sini menggunakan bahasa hiperbola (melebih-lebihkan) sebagaimana yang biasa Ia lakukan, demi menekankan apa yang menjadi inti pengajaran-Nya. Secara khusus dalam Injil hari ini, Yesus menekankan bahwa hubungan darah dan relasi kekerabatan memang penting, tapi relasi dengan Allah serta hubungan atas dasar iman adalah yang terpenting melebihi apapun juga.

Kedua, sebagai orang yang selalu mengajarkan tentang cinta kasih, saya percaya Yesus tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan cinta kasih, apalagi kepada keluarga-Nya sendiri. Itu sebabnya, walaupun tidak pernah tercatat dalam Injil, saya selalu membayangkan bahwa setelah menyampaikan pengajaran-Nya tadi, Yesus segera keluar untuk menyambut ibu dan saudara-saudara-Nya dengan penuh kehangatan dan keakraban. Saya juga membayangkan bahwa wajah beberapa saudara Yesus agak shock saat mendengar pengajaran-Nya tadi. Namun setelah disambut oleh Yesus dengan hangat, mereka pun menjadi tenang bahkan bergembira bisa berjumpa dengan Dia. Demikianlah relasi Yesus dengan keluarga-Nya sesungguhnya senantiasa terjalin baik; Ia tidak pernah mengalami masalah dengan mereka. Bahkan jika kita ingat catatan Injil dan tradisi Gereja yang berkembang, konon beberapa kerabat Yesus juga menjadi pengikut-Nya, misalnya Maria istri Kleopas dan para wanita lainnya yang berada bersama Bunda Maria setelah Yesus wafat di salib.

Alasan ketiga dan yang paling mendasar adalah kenyataan bahwa bukankah semua yang dikatakan Yesus hari ini tentang memenuhi kehendak Allah, semuanya terpenuhi dengan sempurna dalam diri Bunda Maria? Dengan demikian, lewat perkataan-Nya hari ini, Yesus sebenarnya bukan menentang Bunda Maria. Sebaliknya, Ia justru memuji ibu-Nya dengan tulus dan penuh kebanggan. Itu sebabnya saya membayangkan bahwa ketika menyampaikan pengajaran-Nya tadi, Yesus sempat berpaling ke luar dan tersenyum kepada ibu-Nya. Ia sangat bangga kepada ibu-Nya. Bahkan di balik perkataan-Nya tadi tersirat sebuah perintah kepada murid-murid-Nya, “Teladanilah ibu-Ku sebagai contoh dalam kehidupan kalian setiap hari.”

Saudara-saudari terkasih. Meskipun kehidupan Bunda Maria begitu tersembunyi, sangat sederhana, dan bahkan tidak banyak tercatat dalam Kitab Suci, tapi kehidupannya sebenarnya sangat kaya. Itu sebabnya, ada begitu banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok Bunda Maria. Namun secara khusus pada hari ini, saya ingin mengajak kita merenungkan tentang kesediaan Bunda Maria untuk mengandung dan melahirkan Yesus. Marilah sejenak kita membayangkan. Seandainya sekarang malaikat Gabriel tampil di hadapan Anda masing-masing dan bertanya: Bersediakah saudari menjadi seperti Bunda Maria yang mengandung dan melahirkan Kristus dengan segala resikonya, kira-kira apa jawaban yang akan kita berikan? Mau atau tidak mau? Ingat, yang saya katakan tadi adalah “mengandung dan melahirkan dengan segala resikonya”; bukan “mengandung dan melahirkan dengan segala kemuliaannya”. Maka apa jawaban kita?

Saudara-saudari terkasih. Sebagai pengikut Kristus, kita semua memang dipanggil untuk menjadi ibu seperti Bunda Maria, bahkan termasuk pula diri saya yang adalah seorang laki-laki. Dalam hal ini St. Fransiskus dari Assisi pernah berkata demikian, “Kita menjadi ibu (seperti Bunda Maria) bila kita mengandung Tuhan di dalam hati dan tubuh kita, karena kasih ilahi dan karena suara hati yang murni dan jernih. Kita melahirkan Dia melalui karya yang suci, yang harus bercahaya bagi orang lain sebagai contoh” [Surat Pertama kepada Kaum Beriman, Pasal I:10]. Dengan kata lain, St Fransiskus menegaskan bahwa kita adalah pribadi-pribadi yang menghadirkan Bunda Maria, di mana lewat karya dan perbuatan kita, maka sesama dapat berjumpa dengan Kristus.

Lebih dari itu, dalam banyak kesempatan hidup kita, sebenarnya kita telah mendapat anugerah istimewa dari Allah, yaitu kita diberi kesempatan untuk mencicipi bagaimana rasanya menjadi Bunda Maria. Adakah saudari di sini yang tahu, kira-kira pada saat kapankah kita bisa mencicipi rasanya menjadi Bunda Maria? Ok, saya akan memberikan petunjuk lewat sebuah gambaran. Di Amerika Serikat, ada sebuah gereja yang punya desain ruang yang agak tidak biasa, sebab pada salah satu dinding pada panti imam terlukis gambar Bunda Maria dalam ukuran yang cukup besar. Yang menariknya adalah tepat pada bagian perut Bunda Maria terdapat sebuah tabernakel yang menyimpan hosti kudus. Saya percaya gambaran tentang gereja tadi bisa memberikan kita pemahaman yang gamblang bahwa kita menjadi seperti Bunda Maria yang sedang mengandung Yesus, setiap kali kita menyambut komuni kudus. Ya, komuni kudus memang merupakan suatu momen yang amat istimewa, sebab untuk beberapa saat kita bisa merasakan apa yang telah dirasakan oleh Bunda Maria ketika tengah mengandung Yesus. Maka kini pertanyaannya bagi kita: Sadarkah kita akan kenyataan rohani ini setiap kali menyambut komuni? Dan pertanyaan berikutnya yang pantas kita refleksikan adalah: Bersediakah kita juga untuk melahirkan Kristus, lewat karya dan perbuatan kita setiap hari? Semoga Allah memberikan kita rahmat-Nya, agar sanggup mengikuti teladan Sang Bunda dengan setia. Amin.